Malam merayap.
Bulan tidak muncul.
Kastil indah yang dikitari pepohonan lebat itu tampak kelam.
Temboknya yang terbuat dari batu hitam, menambah kesuraman. Kastil itu bisa dikenali hanya dari lilin-lilin yang dinyalakan. Serta lampu redup yang memenuhi sudut ruang.
Drussila tidur nyenyak di kamar. Sprei putih berlapis-lapis, serta bad cover dari bulu domba, menutup tubuh mulus gadis ini. Wajahnya tenang, mulutnya terlukis sesungging senyum. Ia sangat damai di alam mimpi. Dan itu, hanya saat tidurlah bisa dinikmati.Secara phisik, gadis ini sangatlah bahagia dan sejahtera. Ia cucu raja, dan hidup serba berkecukupan. Tapi jaman berhala yang menaunginya, telah menempatkan gadis ini pada takdirnya. Ia harus menyaksikan berbagai kekejian, dan mengalami berbagai penderitaan.
Ia dipaksa harus mengalami itu. Ia harus melihat bagaimana ayah dan ibunya dibunuh secara keji. Ia harus menyaksikan kekejaman bertahun-tahun di istana yang membuat hatinya goyah. Serta, dalam usia yang relatif muda itu, saban hari ia dijejali pemandangan erotis di lingkungan istana.
Pesta seks saban pekan.
Kedamaian tidur Drussila itu amat kontras dengan kondisi Caligula. Laki-laki itu belum beranjak tidur. Ia hilir mudik mengelilingi ruang. Sesekali melongok kegelapan malam, dan kali yang lain menarik nafas panjang.
Padahal biasanya, ia sudah mendengkur. Membaringkan tubuh di dekat adiknya, dan melepas kepenatan siang yang terasa begitu panjang.
Laki-laki ini memang sedang digelayuti keresahan.
Peristiwa siang tadi belum bisa hilang dari ingatannya. Bukan kesadaran sebagai kakak yang membuatnya resah, tetapi keindahan tubuh dan romantisme Sang Adik yang telah menjadikan hatinya terus gundah.
Ia jadi kagok untuk berbaring di sisi Drussila.
Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk tidur bersama adiknya. Sebab ia ragu.
Mampukah tidak melakukan rangsangan pada gadis itu seperti malam-malam yang lalu. Sisi lain, kalau itu dilakukan, jangan-jangan sang adik yang juga orang paling disayang,
serta teman bermain satu-satunya itu
bakal marah.
Dan itu artinya, ia akan kehilangan segalanya.
Perang bathin itulah
yang membuat Caligula resah dan tak bisa mengatupkan mata.
Malam terus merangkak.
Di luar kastil, suara burung mulai bersahutan.
Dingin menempel di jendela, dan terus merayap memenuhi ruang dalam puri tua ini.
Caligula berdiri di balkon dekat peraduan Drussila. Kehangatan mulai menyusup di hati laki-laki ini.
Ia pandangi wajah ayu adiknya.
Ia berulang-ulang menarik nafas panjang.
Dan makin dipandang,
yang muncul bukan wajah Drussila,
tapi justru senyum Ennia, Sophia, Yulia, dan para wanita yang selama ini memberinya kenikmatan
di ranjang.
Jantung Caligula berdegup kencang.
Nafasnya memburu, dan otaknya berpikir keras. Adakah ia mampu melawan nafsu itu?
Mata Caligula merah saga. Ia naik ke peraduan. Selimut tebal yang membungkus tubuh Drussila diseretnya pelan-pelan.
Kini gadis itu hanya berpenutup kain tipis
warna hijau muda yang dibentuk semacam baju tidur.
Ia telentang tenang. Tertidur nyenyak di tengah lapisan kain.
Tubuh mulusnya terpampang nyata.
Nafas Caligula terengah-engah.
Tubuhnya gemetaran menahan nafsu.
Tapi untuk melangkah lebih jauh, ia harus sabar dan hati-hati.Laki-laki ini mulai membaringkan diri disamping Drussila. Tangannya merambat.
Tali kain tipis yang mengikat tubuh Drussila dengan busana tidurnya diurai.
Dengan sangat hati-hati tali itu dilepas. Dan dengan hati-hati pula, saat kain tipis pembungkus tubuh indah gadis ini sudah terlepas, disingkapnya.
Kini tubuh mulus gadis itu tak berpenutup.
Drussila menampilkan pemandangan yang menakjubkan.
Panorama itu yang membuat birahi Caligula kian mengencang. (Bersambung)